Nelayan Batam Menuntut Keadilan: Kasus Pencemaran MT Arman Menjadi Ujian Penegakan Hukum di Indonesia
Batam, 13 September 2025 — Kantor Advokat David S.G. Pella, S.H. & Partners, selaku kuasa hukum 162 nelayan terdampak di Batam, secara resmi mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung terkait kasus pencemaran laut oleh super tanker M.T. Arman berbendera Iran.
Keterangan Foto : Advokat David S.G. Pella, S.H. & Partners, selaku kuasa hukum 162 nelayan terdampak di Batam.
Kasus ini merupakan kasus pencemaran laut pertama di Indonesia yang berhasil diputus dan gugatan class action pertama oleh nelayan atas pencemaran yang dilakukan oleh kapal tanker yang melakukan transaksi ilegal di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Dalam keterangan resmi Advokat David S.G. Pella, S.H., pada Sabtu, 13 September 2025 menjelaskan, Kasus ini berawal dari pencemaran laut yang dilakukan oleh kapal super tanker M.T. Arman berbendera Iran, yang memiliki kapasitas muatan sebesar 2,2 juta barrel minyak mentah. Pemerintah Indonesia telah berhasil membuktikan adanya pencemaran tersebut, dan kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kelas I Batam.
Dalam amar putusan, kapten kapal dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Namun yang sangat mengejutkan, satu minggu sebelum putusan dijatuhkan, kapten kapal menghilang, padahal saat itu berada dalam pengawasan Bakamla (Badan Keamanan Laut). Akibatnya, putusan tersebut dijatuhkan secara in absentia, yakni tanpa kehadiran terdakwa.
Terkait dengan kapal itu sendiri, kapal sepanjang kurang lebih 302 meter tersebut masih menyimpan sekitar 1,6 juta barrel minyak mentah, yang ditaksir bernilai hampir Rp2,5 triliun, dan kini telah disita oleh negara.
Sebagai kuasa hukum dari 162 orang nelayan Batam, kami telah diberikan kewenangan oleh para penggugat, yang diwakili oleh 8 orang pengurus, untuk mengajukan gugatan class action.
Ia juga mengatakan, bahwasanya kasus ini menjadi menarik karena yang di gugat adalah:
Pertama, Kapten kapal yang telah diputus secara in absentia dan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), yakni Saudara Mahmud, dan Kedua, Pemilik kapal. Namun, selama proses sidang di Pengadilan Negeri Batam, pemilik kapal tidak pernah hadir dalam panggilan sidang. Akhirnya, PN Batam menyatakan gugatan kami ditolak dengan alasan kurang pihak.
"Kami mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi menguatkan putusan PN. Saat ini, kami telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan berharap Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum yang berbeda," ujar David.
Perlu dipahami bahwa dalam kasus pencemaran lingkungan, dampaknya tidak terjadi secara instan, melainkan dapat muncul dalam 10–20 tahun ke depan. Kerugian yang akan diderita para nelayan diprediksi akan terjadi dalam kurun waktu 10–15 tahun ke depan, karena pencemaran minyak menghancurkan biota laut, yang merupakan sumber mata pencarian utama para nelayan Batam.
Hal lain yang penting dicatat adalah bahwa ini merupakan kasus pertama di Indonesia, di mana masyarakat nelayan sebagai pihak terdampak langsung mengajukan gugatan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan. Namun sayangnya, kasus ini tidak pernah tersorot secara nasional, bahkan terkesan ada indikasi penutupan informasi.
Oleh karena itu, kami mengajak para pihak terkait dan pemerhati lingkungan untuk ikut mengawal kasus ini dari awal.
Selain itu, pihaknya berharap putusan Mahkamah Agung kelak dapat menjadi yurisprudensi atau landasan hukum baru bagi penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan ke depan. Indonesia, sebagai negara maritim yang dilalui jalur pelayaran internasional dari Selat Malaka hingga Samudera Hindia, sangat rentan terhadap pencemaran laut, baik oleh kapal minyak maupun kapal barang.
Wilayah seperti Selat Malaka dan Laut Natuna Utara sering menjadi tempat terjadinya transaksi minyak ilegal. Maka, sudah saatnya Indonesia memberikan peringatan tegas agar pelayaran internasional berhati-hati dan mematuhi aturan hukum lingkungan laut yang berlaku.
Sebagai pengacara, advokat, dan kuasa hukum para nelayan Batam, pihaknya menuntut agar Mahkamah Agung memberikan terobosan hukum yang berani dan berpihak kepada korban pencemaran lingkungan.
"Terakhir, setelah kapal dan kargo disita oleh negara, hingga saat ini tidak ada informasi jelas mengenai di mana kapal tersebut disimpan. Oleh karena itu, kami akan mengirimkan surat resmi kepada Kejaksaan Agung dan Bakamla untuk mempertanyakan keberadaan objek sitaan tersebut, sebagai bentuk upaya penegakan hukum yang transparan dan akuntabel dalam kerangka penegakan hukum laut di Indonesia," tungkas David.
Berdasarkan tuntutan hukum yang diajukan, para nelayan menuntut ganti rugi sebesar Rp500 miliar. Pihaknya juga berharap Mahkamah Agung dapat memberikan terobosan hukum yang berani untuk melindungi kekayaan hayati dan penghidupan para nelayan, karena Indonesia adalah negara maritim. Putusan Mahkamah Agung kelak diharapkan dapat menjadi yurisprudensi atau landasan hukum baru untuk penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan laut di masa depan.(Red).
Komentar
Posting Komentar